Makalah: Hukum Jual Beli Islam




BAB I
PENAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

        Penjualan merupakan transakasi paling kuat dalam dunia perniagaan bahkan secara umum adalah yang terpenting dalam aktivitas usaha. Sesungguhnya dalam bentuk jual beli ada jual beli yang di haramkan ada pula jual beli yang di perselisihkan hukumnya. Oleh sebab itu menjadi kwajiban bagi kita untuk mengetahui hal – hal yang menentukan sahnya jual beli tersebut, dan mengenal mana yang halal dan yang haram dari kegiatan tersebut, sehingga betul – betul mengerti persoalan tersebut.
Dalam hal jual beli juga terdapat khiyar. khiyar salah satu hal yang penting untuk diperhatikan khususnya dalam hal jual beli. Dalam praktiknya, tidak sedikit orang merasa menyesal dalam melakukan transaksi jual beli. Penyesalan muncul biasa terjadi di karenakantidal adanya tranparansi,
sehinnga kualitas barang yang di terima tidak sesuai dengan harapan baik di karenakan unsur kesengajaan pennjual maupun karena kurang hati - hati atau faktor lain.

Dalam hal jual beli harus di dasari oleh sikap saling jujur, suka atau ridho. Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadit Nabi yaitu :

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِمَالَمْ يَتَفَرِّقَافَإِنْصَدَقَاوَبَيِّنَابُورِكَ لَهُمَافِى بَيْعِهِمَاوَإِنْ كَذَبَاوَكَتَمَامُحِقَت بَرَكَةُبَيْعِهِمَا

Artinya : “Dua orang yang sedang melakukan transaksi jual beli ada hak khiyar selama keduanya belum pisah. Jika mereka jujur dan terbuka, maka jual beli mereka akan di berkahi, jika keduanya saling mendustai dan tidak terbuka maka jual beli mereka akan di tutup barakahnya”. [1]


B. Rumusan Masalah


  1. Bagaimana hukum jual beli ?
  2. Apa saja syarat jual beli ?
  3. Apa itu khiyar ?
C. Tujuan

  1. Memahami hukum jual beli.
  2. Mengetahui syarat dalam jual beli.
  3. Mengetahui apa itu khiyar.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Jual Beli Dalam Islam.

          Secara etimologi jual beli berasal dari bahasa arab Al ba’i yang bermakna menjual, mengganti dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dalam prakteknya bahasa ini terkadang digunakan untuk pengertian lawanny, yakni kata as-syira’(beli). Sehingga kata al ba’i berarti jual, sekaligus jual beli. Secara terminologi para ulama memberikan definisi yang berbeda. Di kalangan ulama’ Hanafi terdapat dua definisi, yaitu :
  • Saling menukar harta dengan harta melalui cara tertentu.
  • Tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.
Ulama’ Madzab Maliki, Syafi’i dan Hambali mendefinisikan jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan kepemilikan. Yang di maksud dengan harta di sini ialah harta dalam bentuk luas, bisa barang ataupun uang.


B. Dasar Hukum Jual Beli Dalam Islam.

Islam memandang jual beli adalah sarana tolong menolong antar sesama manusia. Orang yang melakukan transaksi jual beli tidak di lihat sebagai orang mencari keuntungan semata, akan tetapi di pandang sebagai orang yang membantu saudaranya. Bagi penjual, ia sedang memenuhi kebutuhan barang yang dibutuhkan pembeli. Sedangkan pembeli memenuhi kebutuhan akan keuntungan yang sedang di cari oleh penjual. Atas dasar inilah dalam islam jual beli adalah aktifitas yang mulia. 
Salah satu dasar hukum jual beli ialah:


QS: Al-Baqarah: 275

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الْرِّبَوا ﴿۲۷۵﴾
Artinya : “ Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa jual beli merupakan sesuatu yang hak dan Islam membolehkannya. [2]

يَآاَيُهَاالَّذِيْنَاٰمَنُوالَاتَأْكُلُوآ اَمْوَالَكُم ْبَيْنَكُمْ بِلْبَاطِلِ إِلَّٓااَنْتَكُونَ تِجَارَةًعَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
وَلَاتَقْتُلُوآ اَنْفُسَكُمْ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحَيْمً
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh ﭤdirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
[287] larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, Karena umat merupakan suatu kesatuan. [3]
C. Rukun Dan Syarat Jual Beli

  1. Dalam menetapkan rukun jual beli, di antara para ulama terjadi perbedaan pendapat. Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual beli adalah ijab dan qabul yang menunjukkan pertukaran barang secara ridho, baik denga ucapan maupun perbuatan.
Adapun rukun jual beli menurut jumhur ulama ada 4, yaitu :

  1. Ba’i (penjual).
  2. Mustari (pembelli).
  3. Shighat (ijab dan qabul).
  4. Ma’qud ‘alaih (benda atau barang).
  1. Syarat jual beli dalam Islam
         Secara umum tujuan adanya syarat jual beli anatara lain untuk menghindari pertentangan di antara manusia, menjaga kemashlahatan orang yang sedang akad, menghindari jual beli ghoror (penipuan) dan lain-lain. Jika jual beli tidak memenuhi syarat terjadinya akad, maka akad tersebut batal. [4]


Secara terperinci syarat-syarat tersebut adalah :

  1. Dari pihak pelaku (penjual dan pembeli) yakni sudah akil baligh dan berkemampuan memilih.
  2. Obyek jual beli harus suci, bermanfaat, bisa diserah terimakan dan milik penuh si penjual.
  3. Penjual dan pembeli pada saat ijab qabul di dalam satu majelis, artinya di tempat dalam satu ruangan yang sama, qabul sesuai dengan ijab.
        Ulama fiqh kontemporer, seperti Mustafa Ahmad Az-Zarqa dan Wahbah Zuhaily berpendapat bahwa satu majelis tidak harus diartikan hadir dalam satu tempat, tetapi satu situasi dan satu kondisi, meskipun anatara keduanya berjauhan, tetapi membicarakan obyek yang sama. Tentang persyaratan terjadiny ijab dan qabul dengan lisan muncul istilah ba’i al mu’athah yaitu di mana pembeli mengambil barang dan membayar dan penjual menerima uang dan menyerahkan barang tanpa ada ucapan apapun. Jumhur ulama’ berpendapat bahawa jual beli tersebut boleh, apabila hal tersebut sudah merupakan suatu kebiasaan di sebuah negeri. Sedangkan menurut madzab Syafi’i, Ba’i al-muathah hukumnya tidak sah, karena jual beli harus dilakukan melalui ijab dan qabul yang jelas atau sindiran.
       Menurutnya unsur jual beli adalah kerelaan dan harus dilahirkan dengan kalimat ijab qabul. Akan tetapi pengikut adzab syafi’i periode belakang seperti al nawawi dan albaghawi menganggapnya sah kalau sudah menjadi kebiasaan masysarakat.

D. Pembagian Jual Beli
Jual beli terbagi menjadi beberapa sesuai dengan sudut pandang yang bereda. Yaitu:


1.  Jual beli di lihat dari sisi obyek dagangan.

  • Jual beli umum : menukar uang dengan barang.
  • Jual beli ash sharf : penukaran uang dengan uang.
  • Jual beli muqabadlah : jual beli barter, jual beli dengan menukarkan barang dengan barang.


2. Jual beli dari sisi cara standarisasi harga.

  • Jual beli yang memberi peluang bagi calon pembeli untuk menawar barang dagangan, dan penjual   tidak memberikan informasi harga beli.
  • Jual beli amanah, di mana penjual meberitahukan harga beli barang dagangannya dan mungkin tidaknya penjual memperoleh laba.
  • Jual beli muzayadah (lelang) yakni penjual menwarkan barang dagangannya, lalu pemeli saling menawar dengan menambah jumlah pembayaran dari pembeli sebelumnya, lalu penjual akan menjual dengan harga tertinggi dari para pemebeli tersebut.
  • Jual beli munaqadlah (obral) yakni penjual berlomba menawarkan dagangannya, kemudian pembeli akan membeli dengan harga termurah dari barang
    yang ditawarkan.
  • Jual beli muhathah yakni dimana penjual menawarkan diskon kepada pembeli untuk menarik pembeli.
3. Jual beli di lihat dari sisi cara pembayarannya.

  • Jua beli dengan penyerahan barang dan pembayaran langsung.
  • Jual beli dengan penyerahan barang tertunda.
  • Jal beli dengan pembayaran tertunda.
  • Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran tertunda. [5]
E. Jual Beli Yang Di Haramkan

Jual beli yang di larang dalam islam sangatlah banyak. Berkenaan dengan jual beli yang di larang dala islam, wahbah al zuhalili meringkasnya sebagai berikut :

          Ulama telah sepakat bahwa jual beli dikategorikan shahih apabila dilakukan orang yang baligh, berakal, dapat memilih. Mereka yang di pandang tidak sah
jual belinya adalah :

a. Jual beli orang gila.

b. Jual beli anak kecil.

c. Jual beli orang buta.

d. Jual beli terpaksa.

e.  Jual beli fudhul ( milik orang tanpa izin).

f.  Jual beli orang yang terhalang.

    Maksud terhalang disini adalah karena kebodohan, bangkrut, ataupun sakit.

g. Jual beli malja’.

     Maksud dari malja’ adalah jual beli orang yang sedang dalam bahaya, yakni untuk menghindar       dari perbuatan zalim.

h. Jual beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada.

i.  Jual beli yang tidak dapat diserahkan. Contoh : burung yang terbang di udara dll.

j.  Jual beli ghoror (jual beli yang mengandung kesamaran).

k. Jual beli barang yang najis.

l.  Jual beli riba.

m. Jual beli dengan barang yang diharamkan.

n.  Jual beli waktu azan jumat (bagi laki-laki).


F. Macam-Macam Jual Beli.

1. Jual beli saham.(pesanan)

    Jual beli dengan cara menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudianbarangnya di antar                 belakangan.

2. Jual beli barter.

    Jual beli dengan cara menukar barang dengan barang.

3. Jual beli muthlaq.

    Jual beli barang dengan sesuatu yang telah disepakati sebagai alat pertukaran, seperti uang.

4. Jual beli alat penukar dengan alat penukar.

    Jual beli barang yang biasa di pakai alat penukar dengan alat penukar lainnya, seperti uang perak        dengan uang emas. [6]


G. Khiyar Dalam Jual Beli.

       Secara lughowi Khiyar adalah pilihan, sedangkan secara istilah Khiyar adalah hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan yang melaksanakan transaksi yang disepakati, disebabkan hal-hal tertentu yang membuat salah satu pihak melakukan pilihan tersebut. Plilihan ini dapat dilakukan dalam berbagai macam sebab dan keadaan yang berbeda-beda.
          Hak khiyar disyariatkan untuk menjamin kebebasan, keadilan dan kemaslahatan bersama. Khiyar merupakan ruang yang ditawarkan oleh fiqh muamalah untuk berfikir ulang, merenung dan saling mengkoreksi antara pihak terkait dengan obyek dan transaksi yang telah mereka lakukan. Adanya
hak Khiyar para pihak diharapkan terhindar dari munculnya rasa penyesalan setelah transaksi selesai dilakukan.
Dasar hukum hak khiyar :

قَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ بَيِّعَيْنِ لَا بَيْعَ بَيْنَمَهُمَا حَتَّى يَتَفَرّقَاإِلَّا بَيْعُ الْخِيَارِ

Artinya : “Rasulullah SAW bersabda tidal dikatakan adanya jual beli antara dua orang yang bertransaksi jual beli sampai mereka berpisah kecuali jual beli khiyar (jual beli yang dilakukan dengan memberikan hak pilih kepada masing-masing pihak”. [7]
1. Macam – Macam Khiyar.

a.  Khiyar Syarat

     Khiyar syarat adalah hak yang ditetapkan bagi salah satu pihak yang berakad atau keduanya untuk meneruskan atau membatalkan jual beli, selama tenggat waktu yang ditentukan. Khiyar syarat hanya berlaku bagi akad yang mengikat kedua belah pihak dan muncul atas kesepakatan kedua belah pihak.
Misalnya, seorang pembeli berkata,”saya beli dari kamu barang ini, dengan catatan saya ber khiyar (milih-milih) selama sehari atau tiga hari. Khiyar disyariatkan antara lain untuk menghilangkan unsur
kelalaian atau penipuan bagi pihak yang akad.

b.  Khiyar Ta’yin
     Khiyar Ta’yin  adalah hak pilih bagi pembeli dalam menentukan barang yang berbeda kualitas dalam jual beli. Terkadang obyek jual beli memiliki kualitas yang berbeda, sedangkan pembeli tidak mampu untuk mengindentifikasi kualitas tersebut. Dalam kondisi seperti inilah pembeli minta bantuan untuk menganalisa kualitasnya. Inilah yang di sebut Khiyar Ta’yin, yang menurut madzab Hanafi dibolehkan, sedangkan jumhur ulama’ tidak membolehkan, sebab jual beli seperti di atas mengandung ketidak jelasan yang masuk dalam jual beli al-ma’dum.
Contoh: dalam jual beli mobil. Sesorang ingin membeli sebuah mobil bekas. Sementara ia tidak tahu kualitas mobil yang akan di belinya. Untuk memastikan kualitas mobil yang akan di beli, ia meminta bantuan orang lain untuk menganalisanya. Jadi dan tidaknya pembeli tersebut atas barang yang akan ia beli, ia lakukan atas rekomendasi orang y ang di minta bantuan tersebut.

c.  Khiyar Aib.
  • Khiyar Aib adalah untuk membatalkan atau melangsungkan jual beli bagi kedua belah pihak yang berakad apabila terdapat suatu cacat pada obyek yang di perjual belikan, dan cacat tersebut tidak di ketahui pemiliknya ketika akad berlangsung, denan syarat :
  • Pembeli tidak mengetahui barang tersebut tidak cacat ketika berlangsung akad. Jika sejak awal pembeli sudah tahu cacat yang ada pada barang yang akan di beli, maka padanya tidak ada kiyar aib.
  • Ketika akad berlangsung, penjual tidak mensyaratkan apabila ada cacat tidak bisa dikembalikan. Artinya sudah ada kesepakatan dari pembeli tentang cacat yang ada pada barang yang akan di beli. Jika penjual dan pembeli membuat kesepakatan, bahwa barang yang sudah di beli tidak bisa
    dikembalikan dalam kondisi apapun dan pembeli menyepakatinya, maka sudah tidak ada lagi khiyar aib.
  • Cacat tidak hilang sampai dilakukan pembatalan akad. Cacat yang ada pada benda yang akan di beli bukan akibat dari tindakan pembeli. Jika cacat akibat dari pembeli maka khiyar aib batal. 
Dalam Khiyar aib, pengembalian barang bisa terhalang apabila :
  • Pemilik hak khiyar rela dengan cacat yang ada pada barang tersebut. Jika sejak awal pembeli mengetahui ada cacat dan ia merelakannya, maka ia tidak bisa mengembalikan barang yang sudah di belinya.
  • Hak khiyar digugurkan oleh pemiliknya. Jika sejak awal pemilik barang sudah memberitahuka kepada pembeli untuk tidak mau menerima resiko cacat pada barang dan pembeli menyepakatinya, maka jika pembeli kemudian menemukan cacat, barang tersebut tidak bisa dikembalikan.
  • Benda yang menjadi obyek hilang atau muncul cacat baru akibat perbuatan pemilik hak khiyar. Benda obyek jual beli sudah tidak seperti semula.
d. Khiyar Ru’yah.

         Khiyar Ru’yah adalah hak pilih bagi pembeli untuk menyatakan berlangsung atau batalnya jual beli yang dilakukannya terhadap suatu obyek yang belum di lihatnya ketika akad berlangsung. Suatu saat, seorang pembeli ingin membeli barang, sementara ia belum bisa melihat barang tersebut. Kemudian ia menyepakati terhadap barang yang diinginkan dan penjual siap menghadirkan barang tersebut di lain waktu. Saat barang tersebut dihadirkan pembeli memiliki kesempatan untuk melakukan pilihan antara melangsungkan atau membatalkan jual beli tersebut. Dalam hal ini Imam syafi’i berpendapat bahwa jual beli barang ghaib tidak syah, meski di sebut sifat-sifatnya.
Sedangkan Jumhur ‘ulama mengemukakan beberapa syarat berlakunya khiyar ru’yah, yaitu :
  • Obyek jual beli pembeli tidak dilihat pembeli ketika akad berlangsung. Barang tersebut masih menjadi tanggungan penjual saat pembeli menyatakan kehendaknya.
  • Obyek akad berupa materi. Ia adalah benda yang dapat di lihat dan di sifati.
  • Akad itu sendiri mempunyai alternatif u ntuk dibatalkan. Tidak ada syarat yang ditetapkan penjual dan kemudian di sepakati oleh pembeli bahwa obyek jual beli tidak bisa dibatalkan.
Khiyar Ru’yah dapat berakhir apabila :

  • Pembeli menunjukkan kerelaannya saat obyek jual beli tersebut dihadirkan oleh penjual, pembeli setuju dengan barang tersebut.
  • Obyek yang diperjual belikan hilang atau terjadi penambahan cacat baik oleh pembeli atau kedua belah pihak.
  • Orang yang memiliki hak khiyar meninggal.
e. Khiyar Majlis

Khiyar Majlis adalah hak pilih bagi kedua belah pihak yang berakad untuk membatalkan atau melangsungkan akad, selama keduanya masih berada dalam satu majlis dan belum pisah badan/ tempat.

Menanggapi khiyar jenis ini, ulama’ berbeda pendapat tentang pisah
keabsahannya :

  • Madzab Syafi’i dan Hambali: bahwa masing-masing pihak yang melaukan akad berhak mempunyai khiyar majlis, selama mereka masih berada dalam majlis akad, sekalipun akad telah syah dengan adanya ijab dan qabul. Kedua belah pihak (penjual dan pembeli) masih memiliki hak pilih untuk melangsungkan jual belinya atau membatalkannya, selama mereka masih belum berpisah dalam tempat jual beli.
  • Hanafi dan Maliki : suatu akad sudah sempurna dengan adanya ijab dan kabul. Setelah ijab kabul terjadi, tidak ada lagi peluang untuk membatalkan meskipun masih berada dalam satu majlis. [8]






BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

    Hukum jual beli adalah bentuk muamalah dengan cara saling tukar- menukar barang atau harta menggunakan benda tukar yang bermanfaat dan terjadi perpindahan kepemilikan dengan syarat dan rukun tertentu.
Adapun rukun jual beli menurut jumhur ulama ada 4, yaitu :

1. Ba’i (penjual).

2. Mustari (pembelli).

3. Shighat (ijab dan qabul).

4. Ma’qud ‘alaih (benda atau barang).

Adapun syarat jual beli yaitu :

1. penjual dan pembeli yakni sudah akil baligh dan berkemampuan memilih.

2. Obyek jual beli harus suci, bermanfaat, bisa diserah terimakan dan milik
penuh si penjual.

3. Penjual dan pembeli pada saat ijab qabul di dalam satu tempat.

Adapun jual beli yan di larang yaitu:

a. Jual beli orang gila.

b. Jual beli anak kecil.

c. Jual beli orang buta.

d. Jual beli terpaksa.

e. Jual beli fudhul ( milik orang tanpa izin).

f. Jual beli orang yang terhalang.

g. Jual beli malja’.

Maksud dari malja’ adalah jual beli orang yang sedang dalam bahaya, yakni untuk menghindar dari   perbuatan zalim.

h.  Jual beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada.

i.   Jual beli yang tidak dapat diserahkan. Contoh : burung yang terbang di udara dll.

j.   Jual beli ghoror (jual beli yang mengandung kesamaran).

k.  Jual beli barang yang najis.

l.   Jual beli riba.

m. Jual beli dengan barang yang diharamkan.

n.  Jual beli waktu azan jumat (bagi laki-laki).


          Khiyar secara umum adalah menentukan yang terbaik dari dua hal atau lebih untuk dijadikan orientasi dalam jual beli. Adanya hak Khiyar para pihak diharapkan terhindar dari munculnya rasa penyesalan setelah transaksi selesai dilakukan. Dan macam-macam khiyar yaitu :
a. Khiyar syarat.

b. Khiyar ta’zin.

c. Khiyar aib.

d. Khiyar ru’yah

e. Khiyar majlis.










DAFTAR PUSTAKA


Afandi, M. Yazid. 2009. Fiqih Muamalah. Yogyakarta: Logung Pustaka
Syafei, Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia


[1] M. Yazid Afandi, Fiqih Muamalah. Logung Pustaka: Yogyakarta. 2009. Hal : 76
[2] M. Yazid Afandi, Fiqih Muamalah. Logung Pustaka: Yogyakarta. 2009. Hal : 54
[3] M. Yazid Afandi, Fiqih Muamalah. Logung Pustaka: Yogyakarta. 2009. Hal : 55
[4] Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah. CV Pustaka Setia: Bandung. 2001. Hal : 75, 76
[5] M.Yazid Afandi, Fiqih Muamalah. Logung Pustaka: Yogyakarta. 2009. Hal : 60-62
[6] Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah. CV Pustaka Setia: Bandung. 2001. Hal : 93-101
[7] M.Yazid Afandi, Fiqih Muamalah. Logung Pustaka: Yogyakarta. 2009. Hal : 77-78
[8] M.Yazid Afandi, Fiqih Muamalah. Logung Pustaka: Yogyakarta. 2009. Hal : 79-82

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah: Hukum Jual Beli Islam"

Posting Komentar

POPULAR POSTS